HIKAYAT HITAM PORONG
|
Sisa rumah yang menyembul di hamparan lumpur kering. |
"Sebuah catatan traumatis dari perjalanan sejarah bangsa ini..."
Pada 29 Mei 2006, air dan lumpur panas
tiba-tiba saja memancar keluar dari tanah subur Porong, Jawa Timur setelah
didahului oleh gempa bumi. Otoritas tertentu menganggap fenomena itu adalah
bencana alam, sedang otoritas yang lain mengatakan kejadian itu dipicu oleh
kelalaian aktivitas pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas —lebih dari
2800 meter di dalam lapisan keropos kapur bumi Sidoardjo.
|
Mesin keruk bekerja siang membendung aliran lumpur. |
Bencana alam atau bencana industri? Entahlah. Faktanya sejak itu 150 ribu meter kubik lumpur panas tumpah ruah per hari, menenggelamkan 12 dusun dan
menewaskan 12 orang. Rumah, jalan, pabrik dan lahan sawah lenyap ditelan cairan
panas, bersama sekitar 15 ribu jiwa kehilangan tempat tinggal. Menyulut krisis
dan tragedi kemanusiaan yang belum tuntas hingga kini. Tak kurang dari 800
hektar – empat kali lebih luas dari Monaco – berubah menjadi hamparan lumpur, sekitar
6000 keluarga terpaksa mengungsi dan menuntut ganti rugi. Operator pengeboran Lapindo
Brantas pun diperintahkan pihak pemerintah untuk memberikan ganti rugi sebesar
3,8 trilliun rupiah kepada para korban dan menghentikan semburan lumpur dengan
berbagai cara. Beratus milyar dikucurkan pihak Lapindo Brantas untuk menyumbat
semburan, mulai dari metoda ilmiah hingga jasa paranormal.
|
Jalan tol terputus akibat bencana Porong. |
Proses ganti rugi para korban yang rumit dan memakan
waktu berbulan-bulan memaksa palu keputusan presiden keluar. Pihak Lapindo
Brantas diperintahkan untuk membayar 20 persen kompensasi kepada 10 ribu korban dengan sisa pembayaran dilunasi dalam dua tahun. Sementara bencana ekologi menganga di depan mata. Para
ahli geologi Indonesia memperkirakan semburan lumpur tak akan berhenti hingga
30 tahun ke depan. Sedang berbagai upaya
Lapindo Brantas menemui jalan buntu setelah beragam metoda dari mulai pembuatan
sumur penampungan, pembangunan bendungan ganda hingga pencemplungan beratus
bola beton ke dalam pusat semburan tak juga mampu menyumbat. Upaya terakhir
adalah dengan mencoba membuang limbah lumpur ke dalam Sungai Porong terdekat dan
berharap ia akan hanyut terbawa arus ke Laut Jawa. Namun rencana inipun kembali
menuai bencana. Para nelayan dan peternak udang yang menggantungkan hidup pada
aliaran Sungai Porong dirugikan karena kandungan limbah beracun yang terbawa
arus air mematikan ikan dan udang mereka, sedang endapan lumpur terus terbentuk
1,5 – 2 meter di dasar sungai membunuh seluruh ekosistem kehidupan dasar Sungai
Porong.
|
Hamparan rumah penduduk perlahan habis dimutilasi. |
Sebuah catatan
traumatis dari perjalanan sejarah bangsa ini ditorehkan sudah. Bencana alam atau keteledoran tak
lagi penting bagi sebagian masyarakat Porong yang kampung halamannya sudah tergerus dari peta geografis.
Pun agenda politik terselubung dari berbagai otoritas terkait dalam mengambil
keputusan. Mereka hanya ingin melanjutkan hidup dengan mendapatkan kembali sekeping
haknya sesegera mungkin dan tak harus menunggu hingga 30 tahun ke depan, ketika
semburan lumpur tiba-tiba berhenti dan tanah Sidoardjo kembali berwarna, tak
lagi hitam tandus. Karena Porong bukanlah hikayat Pompeii, sebuah kota kuno nan
jauh di belahan Roma sana •