Rabu, 08 Mei 2013

HIKAYAT HITAM PORONG

Sisa rumah yang menyembul di hamparan lumpur kering. 
"Sebuah catatan traumatis dari perjalanan sejarah bangsa ini..."

Pada 29 Mei 2006, air dan lumpur panas tiba-tiba saja memancar keluar dari tanah subur Porong, Jawa Timur setelah didahului oleh gempa bumi. Otoritas tertentu menganggap fenomena itu adalah bencana alam, sedang otoritas yang lain mengatakan kejadian itu dipicu oleh kelalaian aktivitas pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas —lebih dari 2800 meter di dalam lapisan keropos kapur bumi Sidoardjo.

Mesin keruk bekerja siang membendung aliran lumpur. 
Bencana alam atau bencana industri? Entahlah. Faktanya sejak itu 150 ribu meter kubik lumpur panas tumpah ruah per hari, menenggelamkan 12 dusun dan menewaskan 12 orang. Rumah, jalan, pabrik dan lahan sawah lenyap ditelan cairan panas, bersama sekitar 15 ribu jiwa kehilangan tempat tinggal. Menyulut krisis dan tragedi kemanusiaan yang belum tuntas hingga kini. Tak kurang dari 800 hektar – empat kali lebih luas dari Monaco – berubah menjadi hamparan lumpur, sekitar 6000 keluarga terpaksa mengungsi dan menuntut ganti rugi. Operator pengeboran Lapindo Brantas pun diperintahkan pihak pemerintah untuk memberikan ganti rugi sebesar 3,8 trilliun rupiah kepada para korban dan menghentikan semburan lumpur dengan berbagai cara. Beratus milyar dikucurkan pihak Lapindo Brantas untuk menyumbat semburan, mulai dari metoda ilmiah hingga jasa paranormal.  

Jalan tol terputus akibat bencana Porong. 
Proses ganti rugi para korban yang rumit dan memakan waktu berbulan-bulan memaksa palu keputusan presiden keluar. Pihak Lapindo Brantas diperintahkan untuk membayar 20 persen kompensasi kepada 10 ribu korban dengan sisa pembayaran dilunasi dalam dua tahun. Sementara bencana ekologi menganga di depan mata. Para ahli geologi Indonesia memperkirakan semburan lumpur tak akan berhenti hingga 30 tahun ke depan. Sedang  berbagai upaya Lapindo Brantas menemui jalan buntu setelah beragam metoda dari mulai pembuatan sumur penampungan, pembangunan bendungan ganda hingga pencemplungan beratus bola beton ke dalam pusat semburan tak juga mampu menyumbat. Upaya terakhir adalah dengan mencoba membuang limbah lumpur ke dalam Sungai Porong terdekat dan berharap ia akan hanyut terbawa arus ke Laut Jawa. Namun rencana inipun kembali menuai bencana. Para nelayan dan peternak udang yang menggantungkan hidup pada aliaran Sungai Porong dirugikan karena kandungan limbah beracun yang terbawa arus air mematikan ikan dan udang mereka, sedang endapan lumpur terus terbentuk 1,5 – 2 meter di dasar sungai membunuh seluruh ekosistem kehidupan dasar Sungai Porong.

Hamparan rumah penduduk perlahan habis dimutilasi. 
Sebuah catatan traumatis dari perjalanan sejarah bangsa ini ditorehkan sudah. Bencana alam atau keteledoran tak lagi penting bagi sebagian masyarakat Porong yang kampung halamannya sudah tergerus dari peta geografis. Pun agenda politik terselubung dari berbagai otoritas terkait dalam mengambil keputusan. Mereka hanya ingin melanjutkan hidup dengan mendapatkan kembali sekeping haknya sesegera mungkin dan tak harus menunggu hingga 30 tahun ke depan, ketika semburan lumpur tiba-tiba berhenti dan tanah Sidoardjo kembali berwarna, tak lagi hitam tandus. Karena Porong bukanlah hikayat Pompeii, sebuah kota kuno nan jauh di belahan Roma sana •