Selasa, 17 Desember 2013

ATMA WEDANA UNTUK SANG PIRATA

"Upacara Atma Wedana menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima rupa yaitu: Nganseng, Nyekah, Memukur, Maligia dan Ngeluwer. Semuanya memiliki makna yang sama, kalaupun ada perbedaan hanya terletak pada besar kecilnya upacara"

Foto mendiang keluarga atau leluhur yang akan diupacarakan. 
Setiap agama dan kepercayaan menuntut umatnya untuk meyakini adanya alam pasca kematian. Landasan ajaran tersebut dengan sendirinya juga menuntut kita percaya pada pemilahan jasad dengan jiwa. Antara kesementaraan dengan kekekalan. Maka, kematian pun kemudian menjadi sebuah jalan penyatuan antara yang profan dengan yang kudus.    

Kidung dinyanyikan sepanjang malam. 
Dalam konsep agama Hindu, manusia dipercaya terdiri atas jasad kasar (stula sarira) dan jasad halus atau roh (suksma sarira). Ketika kematian menjemput, suksma sarira akan menanggalkan stula sarira yang terbentuk dari lima unsur (panca mahabutha), yaitu akasa (ether), api, air, udara dan tanah.

Pergelaran tari di malam hari yang bernuansa magis. 
Upacara Ngaben (sawa wedana) atau pembakaran jenazah merupakan prosesi ritual yang bertujuan untuk mempercepat proses pengembalian ke lima unsur pembentuk jasad manusia tadi kembali menyatu dengan alam.



Menuju ke pantai untuk melakukan upacara larung. 
Sementara Ngerorasin (Atma Wedana) adalah prosesi ritual berikutnya yang bertujuan menyucikan roh pitara (leluhur) menjadi betara-betari untuk selanjutnya dilinggihkan di Pura Dadia atau pura keluarga. Roh itu kemudian menjadi Hyang Bathara atau Sang Pelindung bagi para keturunan atau sentananya. Sedangkan untuk roh orang yang belum disucikan dan belum mendapat upacara Atma Wedana dinamakan pirata.

Seorang pandita memimpin upacara larung di pantai. 
Upacara Atma Wedana umumnya dilakukan oleh satu keluarga untuk satu jenazah. Oleh karena itu, banyak keluarga—terutama yang kurang mampu—menunda pelaksanaannya sembari mengumpulkan biaya yang diperlukan karena untuk menyelenggarakannya diperlukan biaya tak sedikit. Namun, perkembangan selanjutnya memungkinkan sekelompok keluarga dalam satu desa untuk menyelenggarakan upacara pitra yadnya atau upacara terhadap leluhur itu bersama-sama. 
Para pemulung mengais sisa persembahan di pantai. 
Penyelenggaraannya diatur desa dan semua keluarga—dari kelas sosial tinggi sampai yang rendah—membayar urunan yang telah disepakati. Dengan metoda gotong royong seperti itu, praktis beban yang disandang setiap keluarga pun menjadi jauh lebih ringan. 

Sebutir kelapa yang ditulisi nama mendiang yang dilarung. 
Maka, di antara alunan ombak dan kidung aji kembang yang menghanyutkan, di antara semerbak dupa dan gemeretak bambu yang menghantar roh pitara ke alam kesucian, sebuah kewajiban keluarga telah terbayar tuntas  


Selasa, 26 November 2013

PELANGI DI CIGUGUR

Pawai Kamonesan menandai puncak acara Seren Taun.
“Walau telah menjadi festival kebudayaan berskala nasional, Seren Taun pernah mengalami episode gelap yakni ketika zaman represif Soeharto berkuasa. Selama  tujuh belas tahun pergelaran ini dilarang diselenggarakan”

Perlahan sang fajar menggeliat dari balik bahu Gunung Ciremai yang kekar. Sisa kabut masih mengambang ketika sekelompok pria dan wanita bergegas menelusuri jalan setapak menuju sebuah tempat di ketinggian sana. Membawa keranjang anyaman dari bambu berisi rupa-rupa bunga dan sayuran untuk persembahan, mereka berhenti di sebuah tanah lapang berbatu di bibir jurang Situriang. Berpuluh orang sudah ramai berkumpul di tempat itu menunggu prosesi dimulai. Selang setengah jam kemudian, ketika matahari sudah setinggi tombak, serombongan lain datang, yaitu para pemangku adat serta tokoh masyarakat yang dituakan. Setibanya di sana, mereka mulai melantunkan rangkaian pupuh serta doa sembari melemparkan bunga dan sayuran persembahan—simbol dosa dan nasib buruk tahun lalu—ke dalam dasar jurang. Sebuah rampak tarian dinamis yang mempersonifikasikan kegairahan meraih nasib yang lebih baik di tahun mendatang menyempurnakan rangkaian ritual ruwatan. Di penghujung hari itu, mereka akan kembali ke rumah masing-masing membawa semangat yang telah dinyalakan serta kegembiraan menyambut perayaan tahunan yang segera datang. 

Tari Tarawangsa, tarian magis yang yang diiringi alat
musik gesek tarawangsa dan gamelan.
Ritual ruwatan “membuang hama” menandai dimulainya acara syukuran masyarakat Cigugur yang lebih dikenal dengan nama Seren Taun. Diselenggarakan setiap tanggal 22 Rayagung, bulan terakhir dari sistem kalender Sunda atau Islam (Dzulhijjah), Seren Taun berarti serah terima dari tahun lalu menuju tahun mendatang. Dalam konteks tradisi masyarakat agraris sunda, Seren Taun merupakan wahana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang diperoleh tahun ini, seraya berharap tahun depan akan memperoleh hasil yang lebih baik. Seluruh kegiatan Seren Taun dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Festival budaya yang penuh warna ini sendiri merupakan representasi dari komunitas Cigugur—sebuah kecamatan terpencil di Jawa Barat—yang mempunyai struktur masyarakat dan kebudayaan unik. Setiap tahunnya sekitar tiga ribu orang dari lima desa akan membanjiri Cigugur untuk merayakannya. Tak hanya di Cigugur sesungguhnya ritual Seren Taun juga diselenggarakan di beberapa tempat di Jawa Barat seperti di Desa Ciptagelar Sukabumi, Desa Pasir Eurih Bogor, Desa Kanekes Banten dan Kampung Naga Tasikmalaya. Namun yang paling dikenal dan dinantikan karena kemeriahan acaranya adalah Seren Taun di Cigugur. Selama beberapa tahun terakhir, festival ini telah menarik para wisatawan, pengamat serta komunitas kebudayaan dari seluruh Indonesia untuk datang dan berpartisipasi. Seperti misalnya komunitas Dayak Indramayu dan Baduy Banten yang selalu datang dalam rombongan besar setiap tahun lengkap dengan membawa berbagai persembahan. Selain dihadiri berbagai komunitas kebudayaan, beberapa sekolah menengah internasional di Jakarta pun memanfaatkan acara itu sebagai ajang study tour para siswanya.

Setiap tahun komunitas Dayak Hindu Budha Bumi Segandu
Indramayu hadir dengan rombongan besar. 
Meski telah menjadi festival kebudayaan berskala nasional, namun Seren Taun pernah mengalami periode gelap yakni ketika zaman represif Soeharto berkuasa. Selama  tujuh belas tahun pergelaran ini dilarang diselenggarakan karena dianggap mengandung unsur ajaran lama masyarakat sunda yaitu Sunda Wiwitan (Sunda Permulaan/Sunda Asli). Pada awal abad ke-19, seorang pangeran dari Cigugur dikenal dengan nama Madrais menyebarkan sebuah ajaran baru yang didasari oleh kepercayaan primitif masyarakat agraris Jawa Barat. Lahir sebagai seorang muslim, Madrais merangkum berbagai agama dan kepercayaan masyarakat ke dalam filosofi baru miliknya. Salah satu contohnya adalah mengakui eksistensi Nabi Muhammad tetapi menafikan Alquran, mengakui batari kesuburan Dewi Sri namun mengingkari sistem kepercayaan politeisme. Dalam prakteknya, Sunda Wiwitan mengombinasikan berbagai ajaran agama yang dikenal di dunia dengan kebudayaan asli masyarakat Sunda. Tercatat lebih dari dua ribu pengikut Sunda Wiwitan tinggal Cigugur.                                                   

Djatikusumah, cucu pangeran Madrais, menghidupkan
kembali acara Seren Taun di Cigugur. 
Sosok Djatikusumah, dipercaya sebagai cucu Pangeran Madrais, tak bisa dilepaskan dari komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur. Ia berpengaruh besar dalam menghidupkan kembali acara Seren Taun—setelah tujuh belas tahun dilarang—dengan membangun aula dan taman di atas tanah seluas tujuh ribu meter persegi sebagai arena festival. Tak hanya nilai spiritualisme yang ia coba tanamkan lewat festival ini namun juga sisi pragmatisme, ia ingin memperkenalkan komunitas Sunda Wiwitan kepada masyarakat nasional dan internasional. “Saya ingin menunjukkan betapa beragamnya budaya kami, betapa toleransinya kami, betapa ini bisa menjadi sebuah model bagi masyarakat Indonesia dan dunia,” jelasnya. Sudah sejak lama komunitas Sunda Wiwitan menjadi kelompok marjinal yang tersisihkan di negara yang konon mengagungkan demokrasi dan ke-bhineka tunggal ika-an. Secara administrasi kependudukan,  tidak mungkin bagi seorang penganut Sunda Wiwitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), surat nikah atau pelayanan publik—yang juga berlaku untuk aliran kepercayaan lainnya. Meski sejak tahun 1999, pemerintah mulai mengakui berbagai aliran kepercayaan dan menghapus diskriminasi administratif, namun perjuangan belumlah berakhir karena kenyataan di lapangan berkata lain. Berbagai kendala dan kesulitan masih mereka temui dalam memperoleh layanan publik dan perizinan. Upaya lobi telah dilakukan oleh komunitas Sunda Wiwitan bersama aliran kepercayaan lainnya untuk mendukung lahirnya sebuah undang-undang yang menjamin hak atas kebebasan berekspresi dan berkebudayaan. Atas dasar  itu maka tema sentral yang diusung Seren Taun setiap tahunnya adalah demokrasi dan kebebasan berekspresi.

Atraksi Angklung Buncis dari Cigugur memeriahkan pawai
puncak acara festival Seren Taun. 
Pasca ritual ruwatan, setiap pojok dan tempat dibersihkan dari segala energi negatif dan nasib sial tahun lalu, maka festival pun siap digelar. Dalam tiga hari ke depan Cigugur pun akan meriah oleh musik, tari dan upacara ritual. Damar Sewu atau menyalakan seribu obor yang dimulai dari halaman pendopo Paseban Tri Panca Tunggal menjadi helaran budaya yang mengawali rangkaian upacara adat Seren Taun Cigugur. Dilanjutkan dengan acara Kaulinan Barudak yaitu atraksi berbagai permainan tradisional anak-anak yang hampir punah. Pada malam berikutnya sebuah pertunjukan tari unik beraroma mistis menyemarakkan acara. Wangi dupa menebar berbarengan dengan lantunan doa Sunda Wiwitan membuka pertunjukan. Diiringi suara gesekan alat musik tarawangsa yang menyayat-nyayat para penari mulai melenggak-lenggok dalam arah berputar searah jarum jam. Salah seorang di antaranya membawa kalungan bunga yang pada gilirannya nanti akan dikalungkan di leher seorang penonton. Seperti dihipnotis,  penonton itu kemudian akan ‘terseret’ masuk ke dalam arena dan  mengikuti gerak tari layaknya penari yang telah mahir. Acara lainnya yang tak kalah menarik adalah misa sore Katholik. Unik, selain karena misa dilaksanakan dengan bahasa sunda, para jemaat yang datang pun semuanya berpakaian tradisional sunda. Dalam semangat bersyukur, berbagai jenis buah dan palawija hasil bumi dipajang di panggung altar dan ruangan misa berbaur dengan simbol-simbol Trinitas.

Pawai berakhir di aula Paseban Tri Panca Tunggal. 
Hari terakhir adalah parade pelangi penuh warna. Mengenakan berbagai macam pakaian adat warna-warni, ratusan orang secara berkelompok beriringan di jalan membawa berbagai macam barang persembahan dalam keranjang berisi bunga, buah, kue, warna-warni bendera hingga patung burung raksasa. Parade terbagi dalam dua kelompok besar yang datang dari arah berlawanan. Keduanya akan bertemu di satu titik di taman dan aula yang menjadi episentrum acara. Hingar bingar musik dan tari ditingkahi akrobat angklung menyemarakkan parade. Setelah seluruh rombongan memasuki taman, disambung beberapa buah kata sambutan dan doa dari para pemangku adat, tiba-tiba dentuman suara puluhan halu (alat penumbuk padi) beradu dengan lisung (wadah penampung) memenuhi seluruh penjuru. Prosesi ngajayak (menyerahkan padi untuk ditumbuk) yang menjadi penanda puncak acara festival dimulai—dilakukan secara maraton oleh ratusan peserta dan  masyarakat yang hadir di sana. Di dalam banguan bernama saung lisung mereka berbaris mengular menunggu giliran. Jumlah padi yang ditumbuk sebanyak 22 kuintal—20 kuintal akan dibagikan kembali kepada masyarakat dan sisanya digunakan sebagai benih— adalah representasi dari tanggal puncak acara festival yaitu 22 Rayagung.

Prosesi Ngajayak atau menumbuk padi menjadi gong dari
puncak acara festival Seren Taun.
Matahari mulai melangkah ke arah barat ketika riuh rendah alunan bunyi halu perlahan senyap. Satu demi satu para peserta dan penduduk meninggalkan taman dengan membawa setangkup harapan akan nasib dan peruntungan yang lebih baik di tahun depan. Mata acara yang tersisa tinggal pagelaran wayang golek di malam hari. Hening dan lengang memenuhi aula ketika para tamu mulai berpamitan disertai ucapan terima kasih kepada tuan rumah yang telah menjamu mereka secara tulus bersahaja. Barisan bus yang membawa ratusan peserta satu per satu mulai meninggalkan Padepokan Paseban Tri Panca Tunggal, namun kehangatan persahabatan dan toleransi yang ditunjukkan masyarakat Cigugur akan tetap tinggal dan berdegup di sana 


Rabu, 03 Juli 2013

MENENGOK SANG MASKOT DI PULAU KOTOK

Elang Bondol, maskot DKI Jakarta yang berada
di ambang kepunahan.
"Di Pulau Kotok, Anda tak hanya akan menikmati panorama pantai dan bawah laut yang indah tapi juga melihat konservasi elang bondol yang menjadi maskot kota Jakarta" 

Ke mana Anda biasanya berlibur? Ke tempat sejuk dengan lansekap pegunungan? Atau ke tempat panas dengan panorama laut dan pantai? Untuk pilihan pertama Puncak adalah salah satunya karena relatif dekat dan murah. Sedang untuk yang kedua, bila kocek cukup tebal, pilihannya adalah Bali. Tapi bila kantong Anda ‘sedang-sedang saja’ alternatifnya adalah Anyer atau Pulau Seribu. Anyer berjarak cukup jauh dari Jakarta, sekitar 160 kilometer, dengan waktu tempuh lebih dari tiga jam menggunakan mobil atau motor. Sedang Pulau Seribu adalah kawasan wisata yang jaraknya sangat dekat dengan Jakarta. Untuk mencapainya bisa melalui pelabuhan ikan Muara Angke, Kali Adem atau dermaga Marina Ancol dengan berbagai pilihan kapal, mulai dari kapal tradisional, speedboat hingga yacht. Tiket kapal bervariasi dari harga Rp 30 ribu hingga Rp 200 ribu per orang sekali jalan. Tinggal Anda yang memutuskan menurut pertimbangan waktu tempuh, kenyamanan dan sudah tentu kapasitas kantong.   

Di kandang ini Elang Bondol masuk dalam tahap
akhir pelepasliaran. 
Kepulauan Seribu adalah gugusan pulau yang terhampar di Teluk Jakarta—secara administratif merupakan salah satu wilayah kecamatan di Kotamadya Jakarta Utara. Terdiri dari empat kelurahan yaitu Pulau Untung Jawa, Pulau Tidung, Pulau Panggang dan Pulau Kelapa. Selain sebagai permukiman penduduk, lebih dari 100 pulau yang tersebar diperuntukkan sebagai tempat rekreasi dan wisata, cagar alam, penghijauan, perikanan, penelitian, taman arkeologi, perkemahan, olahraga serta rambu lalu lintas laut. Lantas, wisata apa yang ditawarkan kawasan pulau itu untuk para pelancongnya? Jawabannya adalah banyak. Mulai dari sekedar memanjakan mata dan rasa dengan panorama laut serta pantai, memancing, snorkling, menyelam, selancar angin, berenang atau hanya berjemur di terik matahari pagi sambil membaca novel dan menyeruput secangkir kopi. Pendek kata, kita bisa melakukan apa saja yang diinginkan untuk melepaskan kepenatan dan mengembalikan gairah hidup. Keelokan Kepulauan Seribu membuat mantan Presiden RI Soekarno dan Soeharto selalu menyempatkan diri berkunjung ke sana. Soekarno kerap beristirahan di Pulau Ayer dan mengajak para tamu negara seperti mantan presiden Yugoslavia Joseph Tito dan mantan presiden Birma (Myanmar) U Nu. Bahkan menurut cerita penduduk setempat, konon Pulau Kelapa pernah menjadi tempat anjangsana para raja-raja Sunda Pajajaran di masa silam.
Burung hasil sitaan dari berbagai tempat di Jakarta
ditempatkan di kandang karantina. 
Dari sekian banyak pulau di Kepulauan Seribu yang menawarkan ekowisata bahari, Pulau Kotok Besar menawarkan sesuatu yang sedikit berbeda—berjarak 50 kilometer dari dermaga Marina, Ancol, dengan waktu tempuh sekitar 90 menit menggunakan speedboat. Di sana, Anda tak hanya bisa menikmati panorama pantai dan keindahan dunia bawah laut dengan beragam jenis ikan, anemon dan terumbu karang yang memesona, tapi juga bisa melihat pusat rehabilitasi elang bondol (haliastur indus). Selain salak condet, elang bondol adalah maskot ibu kota Jakarta yang keberadaannya sudah diambang kepunahan. Meski sudah dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, namun perburuan terhadap burung yang mampu terbang hingga ketinggian 1500 meter ini tetap berlangsung bahkan di wilayah Taman Nasional Kepulauan Seribu. Di kawasan Jakarta, elang ini sudah dikategorikan punah dan di Kepulauan Seribu sendiri hanya tersisa tak lebih dari 30 ekor. Padahal sekitar 30 tahun lalu jumlahnya masih ribuan. Namun merosotnya jumlah elang bondol secara drastis tak hanya disebabkan oleh perburuan saja tetapi juga faktor gangguan ekosistem yang disebabkan oleh pencemaran sampah yang mencapai belasan ribu meter kubik setiap hari dari 13 sungai di Jakarta. Akibatnya jumlah ikan yang menjadi makanan utama elang bondol semakin menipis.

Sekitar 40 ekor Elang Bondol telah
dilepasliarkan di Kepulauan Seribu.
Sebuah gerbang dengan papan bergambar elang bondol terbang bertuliskan “BIARKAN MEREKA HIDUP DI ALAM BEBAS” menyambut kita memasuki Pulau Kotok Besar. Cicitan mereka yang melengking seperti mengucapkan selamat datang kepada para pengunjung sejak di dermaga. Ada beberapa kandang rehabilitasi berukuran sekitar 25 meter persegi di sana. Diperuntukkan bagi elang bondol yang masih dalam perawatan setelah disita petugas dari para pedagang, kolektor atau penyelundup. Pasca penyitaan biasanya mereka dalam kondisi mengenaskan, dengan beberapa luka di bagian tubuh tertentu, bahkan ada yang tulang sayapnya sengaja dipatahkan supaya tak bisa terbang. Selain itu naluri berburu mereka juga sudah hilang karena terbiasa diberi makan manusia. Yang paling menarik perhatian adalah sebuah kandang besar di pesisir pantai berukuran kira-kira 280 meter persegi dengan bagian bawahnya terendam air laut. Burung-burung di kandang ini masuk dalam program akhir pelepasliaran karena sudah dilatih terbang dan menyambar ikan hidup di permukaan air. Sejak berdiri tahun 2004, pusat rehabilitasi dan pelepasliaran elang bondol di Pulau Kotok Besar, kerjasama antara Jakarta Animal Aid network dan Taman Nasional Kepulauan Seribu, telah merawat sekitar 62 ekor elang bondol dengan 40 ekor di antaranya sudah dilepasliarkan—yang menggembirakan, beberapa di antaranya ada yang membuat sarang di sekitar pulau.

Tanpa upaya konservasi serius nasbinya akan semakin buram. 
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu merupakan habitat alami bagi bermacam-macam jenis satwa pemangsa, terutama jenis burung yang makanan utamanya adalah ikan. Ada sekitar 59 jenis burung yang hidup di kawasan itu di antaranya pecuk ular, raja udang biru kecil, cekakak, cangak biru, cangak abu, kuntul perak kecil bluwok dan lainnya. Bahkan satu dari ratusan pulau yang ada dinamakan Pulau Elang (kini Pulau Pramuka), karena dulu merupakan habitat alami bagi elang bondol. Namun, seiring dengan perkembangan penduduk yang kian membludak, keberadaannya pun semakin sulit ditemui di sana 



Rabu, 26 Juni 2013

SEBUTIR BODREX MELENYAPKAN SEMUA HAMBATAN

Lewat kerja keras dan pertolongan bodrex akhirnya karyaku
terpampang di majalah Geographical UK. 
“Sebuah pengalaman tak terlupakan yang penuh keajaiban”

Bus jurusan Probolinggo yang aku tumpangi tak juga berangkat dari terminal Purabaya, Surabaya, meski sudah hampir satu jam mangkal. Kepalaku mulai terasa berat karena kombinasi kekesalan dan beban pekerjaan yang menghantui. Di saat aku ingin segera sampai di tujuan dan memulai pekerjaan, eh bus ini malah molor tak jelas. Untuk mengusir kepenatan aku coba memejamkan mata. Namun, belum juga kantuk datang sekonyong-konyong aroma balsem yang menyengat menusuk lubang hidungku. Rupanya seorang ibu tua yang duduk di sebelah sedang memijat-mijat pelipisnya dengan balsem. Aku beranikan diri untuk menyapa dan menanyakan keadaannya. Ternyata migrennya sedang kumat. Dari situ percakapan pun mengalir.

Obrolan kami terhenti sejenak karena perlahan bus mulai bergerak meninggalkan terminal. Akan tetapi, semakin lama kami menempuh perjalanan kondisi ibu itu semakin tak karuan. Ia terus mengeluh kepalanya pusing. Tiba-tiba aku ingat sesuatu di kantong tas kameraku, sekotak obat sakit kepala Bodrex—yang selalu aku bawa bila bepergian ke luar kota—segera saja aku tawarkan kepadanya. Supaya tak ada prasangka buruk—maklum banyak modus pembiusan di atas bus—aku tunjukkan dulu sekotak Bodrex yang masih utuh itu, ditambah saran agar ia minum dengan botol minumannya sendiri. Selang beberapa saat setelah diminum, kondisinya mulai tenang. Pikiranku pun mulai teralih kembali ke beban pekerjaan yang menanti. Sehari yang lalu, aku mendapat sebuah email penugasan dari editor foto majalah Geographical—majalah alam dan lingkungan di Inggris—untuk membuat photo story bencana lumpur Porong Sidoarjo dengan tenggat waktu yang cukup dramatis: hanya tiga hari. Antara haru dan ragu kuterima penugasan itu. Haru karena ini sebuah kesempatan langka, ragu karena perbandingan jatah waktu liputan dan tuntutan kualitas jomplang. Belum lagi ditambah pengetahuan medan yang nol besar karena tak ada cukup waktu untuk riset. Konsekuensi bila hasilnya jeblok sudah terpampang di depan mata. Namaku akan tercoret dari daftar kontributor sang juragan editor. Kiamat buat seorang fotografer lepas sepertiku. Semakin dekat aku menuju ‘medan pertempuran’ pikiranku semakin galau. Satu hal yang jelas harus dipecahkan begitu tiba di sana adalah soal penginapan. Dari informasi beberapa teman yang tinggal di Surabaya, tak ada hotel atau penginapan di Porong. Kalau harus bolak-balik Surabaya-Porong jelas tak efisien mengingat waktu yang mepet. Kepalaku semakin berat. Tiba-tiba suara halus si Ibu membuyarkan lamunan. Ia menanyakan tujuanku.
”Lho, Ibu sudah baikan?” Jawabku spontan.
”Pusingnya sudah hilang sekarang. Terima kasih untuk obat Bodrex-nya Nak!” sambil kemudian memperkenalkan diri sebagai Ibu Asih.
Dengan singkat, aku coba jelaskan maksud dan tujuanku ke Porong. Ia hanya mendengarkan sambil mengangguk-angguk. Sampai akhirnya meluncur pertanyaan darinya, aku akan tinggal di mana selama di sana. Episode berikutnya adalah rangkaian keajaiban tak terduga hanya karena sebutir Bodrex yang aku berikan. Keajaiban pertama: Ibu Asih menawarkan aku tinggal di rumahnya yang kebetulan terletak di daerah strategis yaitu Pasar Porong. Keajaiban kedua: tak jauh di belakang rumahnya terletak Desa Renokenongo, salah satu desa yang habis terkubur lumpur sekaligus menjadi titik episentrum bencana. Dengan kata lain ‘material pemotretan’ untuk diangkat menjadi sebuah cerita terhampar di depan mata. Keajaiban ketiga: menurut informasi dari beberapa teman, transportasi yang paling efisien untuk mobilitas di sana adalah ojek motor, tapi kita harus berhati-hati dalam negosiasi harga. Maklum di wilayah bencana biasanya banyak kaum oportunis. Secara tak sengaja salah seorang tetangga Ibu Asih menawarkan diri untuk menjadi ojek-pemandu dengan harga yang sangat manusiawi. Selain mengenal medan, ternyata ia pun kenal dengan beberapa petugas lapangan di sana sehingga akses masuk TKP menjadi tak berbelit. 
Akhirnya tenggat waktu tiga hari dan beban pekerjaan yang tadinya terasa begitu berat menjadi ringan. Semua detail pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan lancar. Perasaan haru menyelimuti ketika Aku harus berpamitan pulang dan Ibu Asih menolak uluran amplop uang—walau dengan alasan pengganti listrik. Ternyata anggapan banyak kaum oportunis di wilayah bencana harus dikaji ulang di hardisk kepalaku. Aku pulang tak hanya membawa sejumlah foto yang memuaskan tapi juga kenangan tak terlupakan: sebutir Bodrex telah membantuku menemukan jalan ‘sang juara’. Sebuah email dari editor majalah Geographical menjadi penutup rangkaian keajaiban ini. Berisi sebuah pesan singkat:”Thank you and good job!”• 





Kamis, 13 Juni 2013

SEJENAK BERMIMPI DI WATUBLAPI

"Para penenun Watublapi perlahan beralih mengerjakan tenun ikatnya dengan pewarna alamiah yang sejak dulu sebenarnya telah digunakan secara turun temurun"

Tenun ikat, gelang dan kalung menjadi asesoris
sehari-hari kaum perempuan di Watublapi. 
Dua baris perempuan mengenakan pakaian tradisional menawan dan kalung manik warna-warni bersiap menyambut para tamu di pagi yang hangat itu. Mentari Indonesia timur yang tajam mulai menelusup di antara rindangnya pepohonan yang memagari jalan setapak menuju kampung Watublapi. Dengan sikap hormat seorang perempuan maju dan mencipratkan air kepada salah seorang tamu dengan daun kemudian memasangkan selendang. Sambil melempar seulas senyum ramah dan satu hentakan kaki, merekapun mulai menyanyi dan menari, “Oh, helelarak! Oh, helelarak!" Selamat datang, selamat datang di kampung kami. Adegan tersebut adalah bagian dari upacara khas penyambutan tamu yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat Watublapi yang tergabung dalam sanggar Bliran Sina. Bagi mereka upacara ini tak cuma sebuah atraksi ‘niaga’ turis belaka, tapi lebih dari itu, sebuah ritual yang menjunjung nilai persahabatan, kesetiaan dan hormat pada adat istiadat. Semuanya bermuara dari kata Watublapi itu sendiri yang berarti duduk bersama. Maka kebersamaan pun menjadi denyut nadi yang memompa semangat hidup masyarakatnya.

Tarian Manunggo atau membuka kebun bersama. 
Berada di atas pegunungan sekitar 45 menit dari arah timur Maumere, Watublapi sangat subur dan kaya dengan segala macam pohon komoditi seperti: kelapa, cengkeh, jambu mete, kakao dan kopi. Khusus kakao, masyarakat di sana pernah menyicipi ‘masa emasnya’ pada dekade 90-an. Ketika para pengunjung mendekati Watublapi, segera tampak di mata hamparan kain sarung warna-warni yang dijemur pada tali jemuran. Tenun ikat Watublapi terkenal bukan hanya karena motifnya yang khas dan langkaseperti motif werak atau wiriwanan yang telah ada sebelum penyebaran agama Kristen di Florestapi juga pada campuran pewarna alamiahnya yang terbuat dari tumbuhan seperti  pohon nila untuk warna biru, kunyit untuk kuning, akar mengkudu untuk coklat, serta pepaya dan singkong untuk hijau. Keistimewaan lain dari tenun ikat Watublapi terletak pada jenis benang yang digunakan untuk menenun. Jenis pertama adalah benang yang terbuat dari kapas kebun mereka. Sedang yang kedua, adalah benang komersial yang biasa dibeli di pasar. Benang ini diproduksi di Jawa dan dijual hampir di seluruh pasar di Flores. Dibutuhkan tiga sampai empat minggu untuk menghasilkan sebuah selendang kecil dari benang-benang komersial yang menggunakan celupan alamiah dan tiga bulan jika menggunakan benang yang dikerjakan sendiri. Hasil penjualan tenun ikat yang mulai meninggalkan ‘manajemen asongan’ dan beralih menggunakan metoda pemasaran moderen lewat berbagai sanggar dipadukan dengan pertunjukan musik dan tari perlahan mulai mengangkat perekonomian masyarakat di sana.

Musik adalah denyut nadi masyarakat Watublapi. 
Salah satu sanggar yang berhasil bertahan dan mengangkat perekonomian anggotanya adalah sanggar Bliran Sina yang didirikan oleh Romanus Rewo. Setelah Romanus meninggal tahun 1990, putranya, Daniel David mengambilalih sanggar yang sekarang terdiri dari 60 anggota aktif—tak hanya penenun, tetapi juga para penari dan penyanyi/pemusik. Salah satu kontribusi sanggar Bliran Sina dalam seni tenun ikat Watublapi adalah menghidupkan kembali teknik-teknik celupan asli dengan menggunakan bahan alamiah. “Melalui sanggar kami mencoba mengontrol kualitas tenun ikat masyarakat sekaligus mengorganisir penjualannya dengan cara mempertemukannya langsung dengan para pembeli lewat berbagai acara yang kita gelar. Jadi tidak lagi dilakukan dengan pola asongan dan sendiri-sendiri. Berbagai workshop tentang teknik pewarnaan alamiah dari bahan tumbuh-tumbuhan juga terus kita lakukan selain memperkenalkan berbagai motif langka dan asli Watublapi. Semuanya akan bermuara pada apresiasi para pembeli yang terus meningkat.” 

Memintal kapas menjadi benang adalah proses yang
menentukan untuk menghasilkan tenun ikat berkualitas.  
Selain didukung oleh sanggar kesenian geliat pariwisata Watublapi juga didorong oleh gereja setempat. Sepeti diakui oleh Pastor Christian Rudy Parera dari Paroki Maria Boni Consilii, “Kami terlibat aktif dalam berbagai kegiatan pariwisata di sini di antaranya dengan memfasilitasi rekaman lagu-lagu asli Watublapi ke dalam bentuk CD (compact disc). Bersama dengan sanggar Bliran Sina, kami juga terlibat dalam proyek kerjasama dengan musisi Australia, Tony Gray dan Grant Nundhirribala, untuk membuat sebuah kolaborasi musik dari dua budaya yang berbeda, Aborigin-Watublapi. Apa yang kami lakukan pada dasarnya mencoba mempertahankan dan mengenalkan berbagai budaya asli kami mulai dari tari, musik, tenun hingga makanan.”

Selain terampil menenun, kaum perempuannya juga
terbiasa bekerja keras di ladang. 
Setelah beberapa kali berkunjung ke Flores dan mengamati musik di sana, Tony Gray tergugah untuk menggarap bakat para musisi lokal mulai dari pemain perkusi, ukulele, gitar dan penyanyi yang menurutnya mempunyai naluri bermusik yang unik dan alamiah. "Suatu hal yang luar biasa bisa memberikan kesempatan serta bekerjasama dengan mereka lewat sebuah rekaman musik," ujar Gray. Selama lebih dari tiga tahun ia pernah tinggal di beberapa komunitas terpencil seperti, Numbulwar di Pulau Arnhem Timur. Lewat pengalaman dan kemampuan manajemen musik etniknya, ia kemudian mendirikan grup musik dan tari Yilila. Misinya tak cuma berhenti pada membantu para musisi lokal Flores namun juga berharap proyek ini bisa menjadi sebuah media untuk saling belajar dan mengenal kebudayaan masing-masing. Seperti yang dikatakan oleh penyanyi dan penulis lagu Yilila, Grant Nundhirribala, ”Masyarakat Indonesia seperti saudara dan saya benar-benar senang bermain musik dan menulis lagu bersama mereka. Latar belakang musik dan tari saya dipengaruhi oleh kultur Makassar karena leluhur saya berasal sana, jadi sangat gembira rasanya bisa datang ke Indonesia,” ujar pemuda yang berasal Numbulwar, pulau Arnheim itu.

Berbagai simbol Katholik memenuhi ruang dan aktifitas
masyarakatnya. 
Di tengah geliat semangat masyarakat Watublapi yang mencoba menata kehidupannya lewat wisata tradisi, ironisnya, pemerintah setempat malah asyik tertidur. Seperti yang diakui oleh Daniel David, “Kami harus berjuang sendiri untuk membangun masyarakat Watublapi lewat sanggar”. Yang mana pernyataan tersebut disetujui oleh Pastor Christian Rudy Parera. Malah menurutnya, beberapa kegiatan kesenian yang digelar oleh Pemda setempat malah seperti ‘membunuh’ tradisi asli masyarakat setempat dengan cara mencampur-sari dengan beberapa tradisi dari luar.

Tenun ikat Watublapi tersohor karena corak dan
warnanya yang khas. 
Melihat Watublapi, sebuah noktah kecil Indonesia—bahkan tak tertera di peta—seperti melihat dunia lain. Lewat kekayaan tradisi yang dikemas dalam paket wisata mereka mencoba memperbaiki taraf hidup tanpa menghilangkan tradisi kebersamaan. Musik, tari dan tenun tak sekedar komoditas tapi menjadi denyut nadi bagi mereka. Hal itu mengundang kekaguman Toni Gray, “Mereka tidak punya uang berlebih, namun masih mampu membangun rumah yang cantik, makan bergizi serta bekerja dari pagi hingga petang dengan gembira. Mereka punya kehidupan yang mengagumkan serta ikatan keluarga yang kuat. Tak seorangpun patut mengajari apa yang seharusnya mereka lakukan lagi dalam hidup” •




    Rabu, 08 Mei 2013

    HIKAYAT HITAM PORONG

    Sisa rumah yang menyembul di hamparan lumpur kering. 
    "Sebuah catatan traumatis dari perjalanan sejarah bangsa ini..."

    Pada 29 Mei 2006, air dan lumpur panas tiba-tiba saja memancar keluar dari tanah subur Porong, Jawa Timur setelah didahului oleh gempa bumi. Otoritas tertentu menganggap fenomena itu adalah bencana alam, sedang otoritas yang lain mengatakan kejadian itu dipicu oleh kelalaian aktivitas pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas —lebih dari 2800 meter di dalam lapisan keropos kapur bumi Sidoardjo.

    Mesin keruk bekerja siang membendung aliran lumpur. 
    Bencana alam atau bencana industri? Entahlah. Faktanya sejak itu 150 ribu meter kubik lumpur panas tumpah ruah per hari, menenggelamkan 12 dusun dan menewaskan 12 orang. Rumah, jalan, pabrik dan lahan sawah lenyap ditelan cairan panas, bersama sekitar 15 ribu jiwa kehilangan tempat tinggal. Menyulut krisis dan tragedi kemanusiaan yang belum tuntas hingga kini. Tak kurang dari 800 hektar – empat kali lebih luas dari Monaco – berubah menjadi hamparan lumpur, sekitar 6000 keluarga terpaksa mengungsi dan menuntut ganti rugi. Operator pengeboran Lapindo Brantas pun diperintahkan pihak pemerintah untuk memberikan ganti rugi sebesar 3,8 trilliun rupiah kepada para korban dan menghentikan semburan lumpur dengan berbagai cara. Beratus milyar dikucurkan pihak Lapindo Brantas untuk menyumbat semburan, mulai dari metoda ilmiah hingga jasa paranormal.  

    Jalan tol terputus akibat bencana Porong. 
    Proses ganti rugi para korban yang rumit dan memakan waktu berbulan-bulan memaksa palu keputusan presiden keluar. Pihak Lapindo Brantas diperintahkan untuk membayar 20 persen kompensasi kepada 10 ribu korban dengan sisa pembayaran dilunasi dalam dua tahun. Sementara bencana ekologi menganga di depan mata. Para ahli geologi Indonesia memperkirakan semburan lumpur tak akan berhenti hingga 30 tahun ke depan. Sedang  berbagai upaya Lapindo Brantas menemui jalan buntu setelah beragam metoda dari mulai pembuatan sumur penampungan, pembangunan bendungan ganda hingga pencemplungan beratus bola beton ke dalam pusat semburan tak juga mampu menyumbat. Upaya terakhir adalah dengan mencoba membuang limbah lumpur ke dalam Sungai Porong terdekat dan berharap ia akan hanyut terbawa arus ke Laut Jawa. Namun rencana inipun kembali menuai bencana. Para nelayan dan peternak udang yang menggantungkan hidup pada aliaran Sungai Porong dirugikan karena kandungan limbah beracun yang terbawa arus air mematikan ikan dan udang mereka, sedang endapan lumpur terus terbentuk 1,5 – 2 meter di dasar sungai membunuh seluruh ekosistem kehidupan dasar Sungai Porong.

    Hamparan rumah penduduk perlahan habis dimutilasi. 
    Sebuah catatan traumatis dari perjalanan sejarah bangsa ini ditorehkan sudah. Bencana alam atau keteledoran tak lagi penting bagi sebagian masyarakat Porong yang kampung halamannya sudah tergerus dari peta geografis. Pun agenda politik terselubung dari berbagai otoritas terkait dalam mengambil keputusan. Mereka hanya ingin melanjutkan hidup dengan mendapatkan kembali sekeping haknya sesegera mungkin dan tak harus menunggu hingga 30 tahun ke depan, ketika semburan lumpur tiba-tiba berhenti dan tanah Sidoardjo kembali berwarna, tak lagi hitam tandus. Karena Porong bukanlah hikayat Pompeii, sebuah kota kuno nan jauh di belahan Roma sana •