Selasa, 17 Desember 2013

ATMA WEDANA UNTUK SANG PIRATA

"Upacara Atma Wedana menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima rupa yaitu: Nganseng, Nyekah, Memukur, Maligia dan Ngeluwer. Semuanya memiliki makna yang sama, kalaupun ada perbedaan hanya terletak pada besar kecilnya upacara"

Foto mendiang keluarga atau leluhur yang akan diupacarakan. 
Setiap agama dan kepercayaan menuntut umatnya untuk meyakini adanya alam pasca kematian. Landasan ajaran tersebut dengan sendirinya juga menuntut kita percaya pada pemilahan jasad dengan jiwa. Antara kesementaraan dengan kekekalan. Maka, kematian pun kemudian menjadi sebuah jalan penyatuan antara yang profan dengan yang kudus.    

Kidung dinyanyikan sepanjang malam. 
Dalam konsep agama Hindu, manusia dipercaya terdiri atas jasad kasar (stula sarira) dan jasad halus atau roh (suksma sarira). Ketika kematian menjemput, suksma sarira akan menanggalkan stula sarira yang terbentuk dari lima unsur (panca mahabutha), yaitu akasa (ether), api, air, udara dan tanah.

Pergelaran tari di malam hari yang bernuansa magis. 
Upacara Ngaben (sawa wedana) atau pembakaran jenazah merupakan prosesi ritual yang bertujuan untuk mempercepat proses pengembalian ke lima unsur pembentuk jasad manusia tadi kembali menyatu dengan alam.



Menuju ke pantai untuk melakukan upacara larung. 
Sementara Ngerorasin (Atma Wedana) adalah prosesi ritual berikutnya yang bertujuan menyucikan roh pitara (leluhur) menjadi betara-betari untuk selanjutnya dilinggihkan di Pura Dadia atau pura keluarga. Roh itu kemudian menjadi Hyang Bathara atau Sang Pelindung bagi para keturunan atau sentananya. Sedangkan untuk roh orang yang belum disucikan dan belum mendapat upacara Atma Wedana dinamakan pirata.

Seorang pandita memimpin upacara larung di pantai. 
Upacara Atma Wedana umumnya dilakukan oleh satu keluarga untuk satu jenazah. Oleh karena itu, banyak keluarga—terutama yang kurang mampu—menunda pelaksanaannya sembari mengumpulkan biaya yang diperlukan karena untuk menyelenggarakannya diperlukan biaya tak sedikit. Namun, perkembangan selanjutnya memungkinkan sekelompok keluarga dalam satu desa untuk menyelenggarakan upacara pitra yadnya atau upacara terhadap leluhur itu bersama-sama. 
Para pemulung mengais sisa persembahan di pantai. 
Penyelenggaraannya diatur desa dan semua keluarga—dari kelas sosial tinggi sampai yang rendah—membayar urunan yang telah disepakati. Dengan metoda gotong royong seperti itu, praktis beban yang disandang setiap keluarga pun menjadi jauh lebih ringan. 

Sebutir kelapa yang ditulisi nama mendiang yang dilarung. 
Maka, di antara alunan ombak dan kidung aji kembang yang menghanyutkan, di antara semerbak dupa dan gemeretak bambu yang menghantar roh pitara ke alam kesucian, sebuah kewajiban keluarga telah terbayar tuntas