Rabu, 26 Juni 2013

SEBUTIR BODREX MELENYAPKAN SEMUA HAMBATAN

Lewat kerja keras dan pertolongan bodrex akhirnya karyaku
terpampang di majalah Geographical UK. 
“Sebuah pengalaman tak terlupakan yang penuh keajaiban”

Bus jurusan Probolinggo yang aku tumpangi tak juga berangkat dari terminal Purabaya, Surabaya, meski sudah hampir satu jam mangkal. Kepalaku mulai terasa berat karena kombinasi kekesalan dan beban pekerjaan yang menghantui. Di saat aku ingin segera sampai di tujuan dan memulai pekerjaan, eh bus ini malah molor tak jelas. Untuk mengusir kepenatan aku coba memejamkan mata. Namun, belum juga kantuk datang sekonyong-konyong aroma balsem yang menyengat menusuk lubang hidungku. Rupanya seorang ibu tua yang duduk di sebelah sedang memijat-mijat pelipisnya dengan balsem. Aku beranikan diri untuk menyapa dan menanyakan keadaannya. Ternyata migrennya sedang kumat. Dari situ percakapan pun mengalir.

Obrolan kami terhenti sejenak karena perlahan bus mulai bergerak meninggalkan terminal. Akan tetapi, semakin lama kami menempuh perjalanan kondisi ibu itu semakin tak karuan. Ia terus mengeluh kepalanya pusing. Tiba-tiba aku ingat sesuatu di kantong tas kameraku, sekotak obat sakit kepala Bodrex—yang selalu aku bawa bila bepergian ke luar kota—segera saja aku tawarkan kepadanya. Supaya tak ada prasangka buruk—maklum banyak modus pembiusan di atas bus—aku tunjukkan dulu sekotak Bodrex yang masih utuh itu, ditambah saran agar ia minum dengan botol minumannya sendiri. Selang beberapa saat setelah diminum, kondisinya mulai tenang. Pikiranku pun mulai teralih kembali ke beban pekerjaan yang menanti. Sehari yang lalu, aku mendapat sebuah email penugasan dari editor foto majalah Geographical—majalah alam dan lingkungan di Inggris—untuk membuat photo story bencana lumpur Porong Sidoarjo dengan tenggat waktu yang cukup dramatis: hanya tiga hari. Antara haru dan ragu kuterima penugasan itu. Haru karena ini sebuah kesempatan langka, ragu karena perbandingan jatah waktu liputan dan tuntutan kualitas jomplang. Belum lagi ditambah pengetahuan medan yang nol besar karena tak ada cukup waktu untuk riset. Konsekuensi bila hasilnya jeblok sudah terpampang di depan mata. Namaku akan tercoret dari daftar kontributor sang juragan editor. Kiamat buat seorang fotografer lepas sepertiku. Semakin dekat aku menuju ‘medan pertempuran’ pikiranku semakin galau. Satu hal yang jelas harus dipecahkan begitu tiba di sana adalah soal penginapan. Dari informasi beberapa teman yang tinggal di Surabaya, tak ada hotel atau penginapan di Porong. Kalau harus bolak-balik Surabaya-Porong jelas tak efisien mengingat waktu yang mepet. Kepalaku semakin berat. Tiba-tiba suara halus si Ibu membuyarkan lamunan. Ia menanyakan tujuanku.
”Lho, Ibu sudah baikan?” Jawabku spontan.
”Pusingnya sudah hilang sekarang. Terima kasih untuk obat Bodrex-nya Nak!” sambil kemudian memperkenalkan diri sebagai Ibu Asih.
Dengan singkat, aku coba jelaskan maksud dan tujuanku ke Porong. Ia hanya mendengarkan sambil mengangguk-angguk. Sampai akhirnya meluncur pertanyaan darinya, aku akan tinggal di mana selama di sana. Episode berikutnya adalah rangkaian keajaiban tak terduga hanya karena sebutir Bodrex yang aku berikan. Keajaiban pertama: Ibu Asih menawarkan aku tinggal di rumahnya yang kebetulan terletak di daerah strategis yaitu Pasar Porong. Keajaiban kedua: tak jauh di belakang rumahnya terletak Desa Renokenongo, salah satu desa yang habis terkubur lumpur sekaligus menjadi titik episentrum bencana. Dengan kata lain ‘material pemotretan’ untuk diangkat menjadi sebuah cerita terhampar di depan mata. Keajaiban ketiga: menurut informasi dari beberapa teman, transportasi yang paling efisien untuk mobilitas di sana adalah ojek motor, tapi kita harus berhati-hati dalam negosiasi harga. Maklum di wilayah bencana biasanya banyak kaum oportunis. Secara tak sengaja salah seorang tetangga Ibu Asih menawarkan diri untuk menjadi ojek-pemandu dengan harga yang sangat manusiawi. Selain mengenal medan, ternyata ia pun kenal dengan beberapa petugas lapangan di sana sehingga akses masuk TKP menjadi tak berbelit. 
Akhirnya tenggat waktu tiga hari dan beban pekerjaan yang tadinya terasa begitu berat menjadi ringan. Semua detail pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan lancar. Perasaan haru menyelimuti ketika Aku harus berpamitan pulang dan Ibu Asih menolak uluran amplop uang—walau dengan alasan pengganti listrik. Ternyata anggapan banyak kaum oportunis di wilayah bencana harus dikaji ulang di hardisk kepalaku. Aku pulang tak hanya membawa sejumlah foto yang memuaskan tapi juga kenangan tak terlupakan: sebutir Bodrex telah membantuku menemukan jalan ‘sang juara’. Sebuah email dari editor majalah Geographical menjadi penutup rangkaian keajaiban ini. Berisi sebuah pesan singkat:”Thank you and good job!”• 





Kamis, 13 Juni 2013

SEJENAK BERMIMPI DI WATUBLAPI

"Para penenun Watublapi perlahan beralih mengerjakan tenun ikatnya dengan pewarna alamiah yang sejak dulu sebenarnya telah digunakan secara turun temurun"

Tenun ikat, gelang dan kalung menjadi asesoris
sehari-hari kaum perempuan di Watublapi. 
Dua baris perempuan mengenakan pakaian tradisional menawan dan kalung manik warna-warni bersiap menyambut para tamu di pagi yang hangat itu. Mentari Indonesia timur yang tajam mulai menelusup di antara rindangnya pepohonan yang memagari jalan setapak menuju kampung Watublapi. Dengan sikap hormat seorang perempuan maju dan mencipratkan air kepada salah seorang tamu dengan daun kemudian memasangkan selendang. Sambil melempar seulas senyum ramah dan satu hentakan kaki, merekapun mulai menyanyi dan menari, “Oh, helelarak! Oh, helelarak!" Selamat datang, selamat datang di kampung kami. Adegan tersebut adalah bagian dari upacara khas penyambutan tamu yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat Watublapi yang tergabung dalam sanggar Bliran Sina. Bagi mereka upacara ini tak cuma sebuah atraksi ‘niaga’ turis belaka, tapi lebih dari itu, sebuah ritual yang menjunjung nilai persahabatan, kesetiaan dan hormat pada adat istiadat. Semuanya bermuara dari kata Watublapi itu sendiri yang berarti duduk bersama. Maka kebersamaan pun menjadi denyut nadi yang memompa semangat hidup masyarakatnya.

Tarian Manunggo atau membuka kebun bersama. 
Berada di atas pegunungan sekitar 45 menit dari arah timur Maumere, Watublapi sangat subur dan kaya dengan segala macam pohon komoditi seperti: kelapa, cengkeh, jambu mete, kakao dan kopi. Khusus kakao, masyarakat di sana pernah menyicipi ‘masa emasnya’ pada dekade 90-an. Ketika para pengunjung mendekati Watublapi, segera tampak di mata hamparan kain sarung warna-warni yang dijemur pada tali jemuran. Tenun ikat Watublapi terkenal bukan hanya karena motifnya yang khas dan langkaseperti motif werak atau wiriwanan yang telah ada sebelum penyebaran agama Kristen di Florestapi juga pada campuran pewarna alamiahnya yang terbuat dari tumbuhan seperti  pohon nila untuk warna biru, kunyit untuk kuning, akar mengkudu untuk coklat, serta pepaya dan singkong untuk hijau. Keistimewaan lain dari tenun ikat Watublapi terletak pada jenis benang yang digunakan untuk menenun. Jenis pertama adalah benang yang terbuat dari kapas kebun mereka. Sedang yang kedua, adalah benang komersial yang biasa dibeli di pasar. Benang ini diproduksi di Jawa dan dijual hampir di seluruh pasar di Flores. Dibutuhkan tiga sampai empat minggu untuk menghasilkan sebuah selendang kecil dari benang-benang komersial yang menggunakan celupan alamiah dan tiga bulan jika menggunakan benang yang dikerjakan sendiri. Hasil penjualan tenun ikat yang mulai meninggalkan ‘manajemen asongan’ dan beralih menggunakan metoda pemasaran moderen lewat berbagai sanggar dipadukan dengan pertunjukan musik dan tari perlahan mulai mengangkat perekonomian masyarakat di sana.

Musik adalah denyut nadi masyarakat Watublapi. 
Salah satu sanggar yang berhasil bertahan dan mengangkat perekonomian anggotanya adalah sanggar Bliran Sina yang didirikan oleh Romanus Rewo. Setelah Romanus meninggal tahun 1990, putranya, Daniel David mengambilalih sanggar yang sekarang terdiri dari 60 anggota aktif—tak hanya penenun, tetapi juga para penari dan penyanyi/pemusik. Salah satu kontribusi sanggar Bliran Sina dalam seni tenun ikat Watublapi adalah menghidupkan kembali teknik-teknik celupan asli dengan menggunakan bahan alamiah. “Melalui sanggar kami mencoba mengontrol kualitas tenun ikat masyarakat sekaligus mengorganisir penjualannya dengan cara mempertemukannya langsung dengan para pembeli lewat berbagai acara yang kita gelar. Jadi tidak lagi dilakukan dengan pola asongan dan sendiri-sendiri. Berbagai workshop tentang teknik pewarnaan alamiah dari bahan tumbuh-tumbuhan juga terus kita lakukan selain memperkenalkan berbagai motif langka dan asli Watublapi. Semuanya akan bermuara pada apresiasi para pembeli yang terus meningkat.” 

Memintal kapas menjadi benang adalah proses yang
menentukan untuk menghasilkan tenun ikat berkualitas.  
Selain didukung oleh sanggar kesenian geliat pariwisata Watublapi juga didorong oleh gereja setempat. Sepeti diakui oleh Pastor Christian Rudy Parera dari Paroki Maria Boni Consilii, “Kami terlibat aktif dalam berbagai kegiatan pariwisata di sini di antaranya dengan memfasilitasi rekaman lagu-lagu asli Watublapi ke dalam bentuk CD (compact disc). Bersama dengan sanggar Bliran Sina, kami juga terlibat dalam proyek kerjasama dengan musisi Australia, Tony Gray dan Grant Nundhirribala, untuk membuat sebuah kolaborasi musik dari dua budaya yang berbeda, Aborigin-Watublapi. Apa yang kami lakukan pada dasarnya mencoba mempertahankan dan mengenalkan berbagai budaya asli kami mulai dari tari, musik, tenun hingga makanan.”

Selain terampil menenun, kaum perempuannya juga
terbiasa bekerja keras di ladang. 
Setelah beberapa kali berkunjung ke Flores dan mengamati musik di sana, Tony Gray tergugah untuk menggarap bakat para musisi lokal mulai dari pemain perkusi, ukulele, gitar dan penyanyi yang menurutnya mempunyai naluri bermusik yang unik dan alamiah. "Suatu hal yang luar biasa bisa memberikan kesempatan serta bekerjasama dengan mereka lewat sebuah rekaman musik," ujar Gray. Selama lebih dari tiga tahun ia pernah tinggal di beberapa komunitas terpencil seperti, Numbulwar di Pulau Arnhem Timur. Lewat pengalaman dan kemampuan manajemen musik etniknya, ia kemudian mendirikan grup musik dan tari Yilila. Misinya tak cuma berhenti pada membantu para musisi lokal Flores namun juga berharap proyek ini bisa menjadi sebuah media untuk saling belajar dan mengenal kebudayaan masing-masing. Seperti yang dikatakan oleh penyanyi dan penulis lagu Yilila, Grant Nundhirribala, ”Masyarakat Indonesia seperti saudara dan saya benar-benar senang bermain musik dan menulis lagu bersama mereka. Latar belakang musik dan tari saya dipengaruhi oleh kultur Makassar karena leluhur saya berasal sana, jadi sangat gembira rasanya bisa datang ke Indonesia,” ujar pemuda yang berasal Numbulwar, pulau Arnheim itu.

Berbagai simbol Katholik memenuhi ruang dan aktifitas
masyarakatnya. 
Di tengah geliat semangat masyarakat Watublapi yang mencoba menata kehidupannya lewat wisata tradisi, ironisnya, pemerintah setempat malah asyik tertidur. Seperti yang diakui oleh Daniel David, “Kami harus berjuang sendiri untuk membangun masyarakat Watublapi lewat sanggar”. Yang mana pernyataan tersebut disetujui oleh Pastor Christian Rudy Parera. Malah menurutnya, beberapa kegiatan kesenian yang digelar oleh Pemda setempat malah seperti ‘membunuh’ tradisi asli masyarakat setempat dengan cara mencampur-sari dengan beberapa tradisi dari luar.

Tenun ikat Watublapi tersohor karena corak dan
warnanya yang khas. 
Melihat Watublapi, sebuah noktah kecil Indonesia—bahkan tak tertera di peta—seperti melihat dunia lain. Lewat kekayaan tradisi yang dikemas dalam paket wisata mereka mencoba memperbaiki taraf hidup tanpa menghilangkan tradisi kebersamaan. Musik, tari dan tenun tak sekedar komoditas tapi menjadi denyut nadi bagi mereka. Hal itu mengundang kekaguman Toni Gray, “Mereka tidak punya uang berlebih, namun masih mampu membangun rumah yang cantik, makan bergizi serta bekerja dari pagi hingga petang dengan gembira. Mereka punya kehidupan yang mengagumkan serta ikatan keluarga yang kuat. Tak seorangpun patut mengajari apa yang seharusnya mereka lakukan lagi dalam hidup” •