Bus jurusan Probolinggo yang aku tumpangi tak juga berangkat dari terminal
Purabaya, Surabaya, meski sudah hampir satu jam mangkal. Kepalaku mulai terasa berat
karena kombinasi kekesalan dan beban pekerjaan yang menghantui. Di saat aku
ingin segera sampai di tujuan dan memulai pekerjaan, eh bus ini malah molor tak
jelas. Untuk mengusir kepenatan aku coba memejamkan mata. Namun, belum juga
kantuk datang sekonyong-konyong aroma balsem yang menyengat menusuk lubang
hidungku. Rupanya seorang ibu tua yang duduk di sebelah sedang memijat-mijat
pelipisnya dengan balsem. Aku beranikan diri untuk menyapa dan menanyakan
keadaannya. Ternyata migrennya sedang kumat. Dari situ percakapan pun mengalir.
Obrolan kami
terhenti sejenak karena perlahan bus mulai bergerak meninggalkan terminal. Akan tetapi, semakin lama kami menempuh perjalanan kondisi ibu itu semakin tak
karuan. Ia terus mengeluh kepalanya pusing. Tiba-tiba aku ingat sesuatu di
kantong tas kameraku, sekotak obat sakit kepala Bodrex—yang selalu aku bawa
bila bepergian ke luar kota—segera saja aku tawarkan kepadanya. Supaya tak
ada prasangka buruk—maklum banyak modus pembiusan di atas bus—aku tunjukkan
dulu sekotak Bodrex yang masih utuh itu, ditambah saran agar ia minum dengan
botol minumannya sendiri. Selang beberapa saat setelah diminum, kondisinya
mulai tenang. Pikiranku pun mulai teralih kembali ke beban pekerjaan yang menanti.
Sehari yang lalu, aku mendapat sebuah email penugasan dari editor foto majalah
Geographical—majalah alam dan lingkungan di Inggris—untuk membuat photo story bencana lumpur Porong
Sidoarjo dengan tenggat waktu yang cukup dramatis: hanya tiga hari. Antara haru
dan ragu kuterima penugasan itu. Haru karena ini sebuah kesempatan langka, ragu
karena perbandingan jatah waktu liputan dan tuntutan kualitas jomplang. Belum lagi ditambah
pengetahuan medan yang nol besar karena tak ada cukup waktu untuk riset.
Konsekuensi bila hasilnya jeblok
sudah terpampang di depan mata. Namaku akan tercoret dari daftar kontributor
sang juragan editor. Kiamat buat seorang fotografer lepas sepertiku. Semakin
dekat aku menuju ‘medan pertempuran’ pikiranku semakin galau. Satu hal yang
jelas harus dipecahkan begitu tiba di sana adalah soal penginapan. Dari
informasi beberapa teman yang tinggal di Surabaya, tak ada hotel atau
penginapan di Porong. Kalau harus bolak-balik Surabaya-Porong jelas tak efisien
mengingat waktu yang mepet. Kepalaku semakin berat. Tiba-tiba suara halus si Ibu membuyarkan lamunan. Ia
menanyakan tujuanku.
”Lho, Ibu sudah baikan?” Jawabku spontan.
”Pusingnya sudah hilang sekarang. Terima kasih untuk obat
Bodrex-nya Nak!” sambil kemudian memperkenalkan diri sebagai Ibu Asih.