Kamis, 13 Juni 2013

SEJENAK BERMIMPI DI WATUBLAPI

"Para penenun Watublapi perlahan beralih mengerjakan tenun ikatnya dengan pewarna alamiah yang sejak dulu sebenarnya telah digunakan secara turun temurun"

Tenun ikat, gelang dan kalung menjadi asesoris
sehari-hari kaum perempuan di Watublapi. 
Dua baris perempuan mengenakan pakaian tradisional menawan dan kalung manik warna-warni bersiap menyambut para tamu di pagi yang hangat itu. Mentari Indonesia timur yang tajam mulai menelusup di antara rindangnya pepohonan yang memagari jalan setapak menuju kampung Watublapi. Dengan sikap hormat seorang perempuan maju dan mencipratkan air kepada salah seorang tamu dengan daun kemudian memasangkan selendang. Sambil melempar seulas senyum ramah dan satu hentakan kaki, merekapun mulai menyanyi dan menari, “Oh, helelarak! Oh, helelarak!" Selamat datang, selamat datang di kampung kami. Adegan tersebut adalah bagian dari upacara khas penyambutan tamu yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat Watublapi yang tergabung dalam sanggar Bliran Sina. Bagi mereka upacara ini tak cuma sebuah atraksi ‘niaga’ turis belaka, tapi lebih dari itu, sebuah ritual yang menjunjung nilai persahabatan, kesetiaan dan hormat pada adat istiadat. Semuanya bermuara dari kata Watublapi itu sendiri yang berarti duduk bersama. Maka kebersamaan pun menjadi denyut nadi yang memompa semangat hidup masyarakatnya.

Tarian Manunggo atau membuka kebun bersama. 
Berada di atas pegunungan sekitar 45 menit dari arah timur Maumere, Watublapi sangat subur dan kaya dengan segala macam pohon komoditi seperti: kelapa, cengkeh, jambu mete, kakao dan kopi. Khusus kakao, masyarakat di sana pernah menyicipi ‘masa emasnya’ pada dekade 90-an. Ketika para pengunjung mendekati Watublapi, segera tampak di mata hamparan kain sarung warna-warni yang dijemur pada tali jemuran. Tenun ikat Watublapi terkenal bukan hanya karena motifnya yang khas dan langkaseperti motif werak atau wiriwanan yang telah ada sebelum penyebaran agama Kristen di Florestapi juga pada campuran pewarna alamiahnya yang terbuat dari tumbuhan seperti  pohon nila untuk warna biru, kunyit untuk kuning, akar mengkudu untuk coklat, serta pepaya dan singkong untuk hijau. Keistimewaan lain dari tenun ikat Watublapi terletak pada jenis benang yang digunakan untuk menenun. Jenis pertama adalah benang yang terbuat dari kapas kebun mereka. Sedang yang kedua, adalah benang komersial yang biasa dibeli di pasar. Benang ini diproduksi di Jawa dan dijual hampir di seluruh pasar di Flores. Dibutuhkan tiga sampai empat minggu untuk menghasilkan sebuah selendang kecil dari benang-benang komersial yang menggunakan celupan alamiah dan tiga bulan jika menggunakan benang yang dikerjakan sendiri. Hasil penjualan tenun ikat yang mulai meninggalkan ‘manajemen asongan’ dan beralih menggunakan metoda pemasaran moderen lewat berbagai sanggar dipadukan dengan pertunjukan musik dan tari perlahan mulai mengangkat perekonomian masyarakat di sana.

Musik adalah denyut nadi masyarakat Watublapi. 
Salah satu sanggar yang berhasil bertahan dan mengangkat perekonomian anggotanya adalah sanggar Bliran Sina yang didirikan oleh Romanus Rewo. Setelah Romanus meninggal tahun 1990, putranya, Daniel David mengambilalih sanggar yang sekarang terdiri dari 60 anggota aktif—tak hanya penenun, tetapi juga para penari dan penyanyi/pemusik. Salah satu kontribusi sanggar Bliran Sina dalam seni tenun ikat Watublapi adalah menghidupkan kembali teknik-teknik celupan asli dengan menggunakan bahan alamiah. “Melalui sanggar kami mencoba mengontrol kualitas tenun ikat masyarakat sekaligus mengorganisir penjualannya dengan cara mempertemukannya langsung dengan para pembeli lewat berbagai acara yang kita gelar. Jadi tidak lagi dilakukan dengan pola asongan dan sendiri-sendiri. Berbagai workshop tentang teknik pewarnaan alamiah dari bahan tumbuh-tumbuhan juga terus kita lakukan selain memperkenalkan berbagai motif langka dan asli Watublapi. Semuanya akan bermuara pada apresiasi para pembeli yang terus meningkat.” 

Memintal kapas menjadi benang adalah proses yang
menentukan untuk menghasilkan tenun ikat berkualitas.  
Selain didukung oleh sanggar kesenian geliat pariwisata Watublapi juga didorong oleh gereja setempat. Sepeti diakui oleh Pastor Christian Rudy Parera dari Paroki Maria Boni Consilii, “Kami terlibat aktif dalam berbagai kegiatan pariwisata di sini di antaranya dengan memfasilitasi rekaman lagu-lagu asli Watublapi ke dalam bentuk CD (compact disc). Bersama dengan sanggar Bliran Sina, kami juga terlibat dalam proyek kerjasama dengan musisi Australia, Tony Gray dan Grant Nundhirribala, untuk membuat sebuah kolaborasi musik dari dua budaya yang berbeda, Aborigin-Watublapi. Apa yang kami lakukan pada dasarnya mencoba mempertahankan dan mengenalkan berbagai budaya asli kami mulai dari tari, musik, tenun hingga makanan.”

Selain terampil menenun, kaum perempuannya juga
terbiasa bekerja keras di ladang. 
Setelah beberapa kali berkunjung ke Flores dan mengamati musik di sana, Tony Gray tergugah untuk menggarap bakat para musisi lokal mulai dari pemain perkusi, ukulele, gitar dan penyanyi yang menurutnya mempunyai naluri bermusik yang unik dan alamiah. "Suatu hal yang luar biasa bisa memberikan kesempatan serta bekerjasama dengan mereka lewat sebuah rekaman musik," ujar Gray. Selama lebih dari tiga tahun ia pernah tinggal di beberapa komunitas terpencil seperti, Numbulwar di Pulau Arnhem Timur. Lewat pengalaman dan kemampuan manajemen musik etniknya, ia kemudian mendirikan grup musik dan tari Yilila. Misinya tak cuma berhenti pada membantu para musisi lokal Flores namun juga berharap proyek ini bisa menjadi sebuah media untuk saling belajar dan mengenal kebudayaan masing-masing. Seperti yang dikatakan oleh penyanyi dan penulis lagu Yilila, Grant Nundhirribala, ”Masyarakat Indonesia seperti saudara dan saya benar-benar senang bermain musik dan menulis lagu bersama mereka. Latar belakang musik dan tari saya dipengaruhi oleh kultur Makassar karena leluhur saya berasal sana, jadi sangat gembira rasanya bisa datang ke Indonesia,” ujar pemuda yang berasal Numbulwar, pulau Arnheim itu.

Berbagai simbol Katholik memenuhi ruang dan aktifitas
masyarakatnya. 
Di tengah geliat semangat masyarakat Watublapi yang mencoba menata kehidupannya lewat wisata tradisi, ironisnya, pemerintah setempat malah asyik tertidur. Seperti yang diakui oleh Daniel David, “Kami harus berjuang sendiri untuk membangun masyarakat Watublapi lewat sanggar”. Yang mana pernyataan tersebut disetujui oleh Pastor Christian Rudy Parera. Malah menurutnya, beberapa kegiatan kesenian yang digelar oleh Pemda setempat malah seperti ‘membunuh’ tradisi asli masyarakat setempat dengan cara mencampur-sari dengan beberapa tradisi dari luar.

Tenun ikat Watublapi tersohor karena corak dan
warnanya yang khas. 
Melihat Watublapi, sebuah noktah kecil Indonesia—bahkan tak tertera di peta—seperti melihat dunia lain. Lewat kekayaan tradisi yang dikemas dalam paket wisata mereka mencoba memperbaiki taraf hidup tanpa menghilangkan tradisi kebersamaan. Musik, tari dan tenun tak sekedar komoditas tapi menjadi denyut nadi bagi mereka. Hal itu mengundang kekaguman Toni Gray, “Mereka tidak punya uang berlebih, namun masih mampu membangun rumah yang cantik, makan bergizi serta bekerja dari pagi hingga petang dengan gembira. Mereka punya kehidupan yang mengagumkan serta ikatan keluarga yang kuat. Tak seorangpun patut mengajari apa yang seharusnya mereka lakukan lagi dalam hidup” •




    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar