Senin, 15 Februari 2016

GERHANA: DARI PERTANDA BALA HINGGA PEMBAWA DEVISA
Gerhana matahari kini menjadi salah satu atraksi wisata yang digemari.
“Laju peradaban diiringi perkembangan pemikiran manusia membuat cara pandang tentang gerhana bermetamorfosa. Ia tak lagi dipandang sebagai fenomena alam pertanda petaka, tetapi justru menjadi peristiwa langka pembawa devisa. Kemunculannya yang semula ditakuti kini diburu para ilmuwan, astronom, fotografer, pelancong dan pemburu gerhana”.   
Bagi pembaca yang pernah menonton film Apocalypto besutan sutradara Mel Gibson mungkin ingat adegan ritual pengorbanan manusia yang dilakukan sekelompok suku Maya. Ketika sang tokoh utama dalam film tersebut hendak dijadikan persembahan dengan cara dihunjam dadanya dengan sebilah pisau batu, tiba-tiba saja ia dibebaskan begitu saja karena kemunculan gerhana matahari. 

Dalam mitologi peradaban kuno manusia, gerhana memang dimaknai berbeda-beda namun tetap mempunya garis persepsi yang sama yakni pertanda bala. Hal ini mungkin didasari logika bahwa matahari dan bulan adalah penyokong kehidupan bagi sang ibu bumi sekaligus menjadi dewa-dewi di atas panggung teater langit. Dan ketika terjadi ketidakharmonisan dan keganjilan—siang menjadi gelap—maka munculah anggapan dari manusia masa lalu bahwasanya sedang terjadi ‘masalah besar’ di langit.  
Bangsa China misalnya menganggap gerhana terjadi karena matahari atau bulan ditelan sang naga, sedangkan suku Indian di Amerika Tengah dan Latin percaya bahwa macan jaguar pelakunya. Lain halnya dengan bangsa Norwegia kuno yang percaya serigala adalah pemangsanya. Kebudayaan lama Nusantara sendiri menganggap—terutama beberapa etnis yang dipengaruhi budaya India—Bathara Kala atau Rahu sebagai pelahap matahari dan bulan.  
Astronom China sudah bisa memprediksi datangnya gerhana matahari.
Catatan paling awal tentang gerhana matahari bisa ditemukan dalam sejarah kuno China. Konon menurut legenda, saat itu dua orang astronom istana—Ho dan Hi—harus menerima hukuman gantung dari sang kaisar karena mabuk dan luput memprediksi datangnya gerhana. Sang kaisar begitu murka karena ia tidak bisa mempersiapkan para penabuh genderang dan pemanah untuk mengusir sang naga di langit. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 22 Oktober 2137 Sebelum Masehi (SM). Beberapa prasasti dan naskah kuno yang ditemukan di Jawa dan Bali secara tersirat menyebut adanya gerhana bulan, namun yang secara tegas mencatat terjadinya gerhana bulan ditemukan dalam Prasasti Sucen di Temanggung, Jawa Tengah, pada tanggal 15 tahun 765 Saka atau 19 Maret 843.  
Dipicu oleh pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan manusia dalam 500 tahun terakhir—di antaranya dengan ditemukannya teleskop pada awal abad ke-17—pemahaman manusia terhadap gerhana matahari total pun berubah total. Ia tak lagi dipandang sebagai penanda bencana namun hanya fenomena alam biasa. Hal itu mendorong para astronom Eropa untuk berburu dan menelitinya seperti yang dilakukan oleh Johannes Kepler (1605), Edmund Halley (3 Mei 1715), Juless Jansen dan Norman Lockyer (16 Agustus 1868) serta Sir Arthur Eddington (29 Mei 1919). Hasil penelitian mereka kemudian menambah khazanah pengetahuan manusia moderen tentang semesta raya khususnya yang bersangkut-paut dengan matahari dan gerhana.    
Kemunculan gerhana matahari total yang langka dan istimewa—rata-rata hanya bisa disaksikan sekali dalam 375 tahun di titik yang sama di muka bumi—kini menjadi obyek buruan tak hanya para astronom dan ilmuwan namun juga pelancong, fotografer dan pemburu gerhana dari seluruh penjuru dunia. Mereka rela berburu—dari ujung antartika hingga ketinggian antariksa—demi menyaksikan pentas gerhana meski harus menggerus kantong terdalam.  
Menurut data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Indonesia sendiri akan mengalami gerhana matahari total sebanyak sembilan kali selama rentang satu abad (1945–2045). Peristiwa gerhana matahari total pada 9 Maret 2016 nanti menjadi istimewa karena merupakan fenomena langka yang terjadi hanya di Indonesia. Gerhana matahari total terakhir yang melintas Indonesia di abad ke-20 terjadi 21 tahun lalu, yaitu pada 24 Oktober 1995. Durasi gerhana ini sekitar 2 menit dan melintasi Pulau Sangihe di Sulawesi Utara. Beberapa gerhana matahari total sebelumnya terjadi pada 11 Juni 1983 yang melewati Jawa dan Sulawesi. Selain itu ada juga gerhana matahari total tanggal 18 Maret 1988 yang melintasi Sumatera dan Kalimantan. Gerhana ini memiliki kemiripan jalur dengan gerhana 9 Maret 2016 mendatang. 
Jalur lintasan gerhana matahari total yang akan melewati Indonesia.
Jalur lintasan gerhana matahari total 9 Maret nanti akan membentang lebih dari 5.000 kilometer, melintasi 12 propinsi—dari Sumatera Barat hingga Maluku Utara—melewati 53 kabupaten dan kota dengan totalitas waktu antara 1,5 hingga 3 menit. Fase totalitas gerhana yang bisa diamati di setiap tempat berbeda-beda tergantung dari posisi daerah itu dalam jalur gerhana. Diperkirakan fase totalitas gerhana terlama terjadi di Maba, ibu kota Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, yaitu sekitar 3 menit  20 detik. 

Gairah dan gaung menonton gerhana matahari total pertama yang melintas wilayah Indonesia pada abad ke-21 ini pun dimanfaatkan oleh para agen perjalanan dan wisata maupun pemeritah daerah setempat untuk menjaring para turis. Kementerian pariwisata sendiri menargetkan  momen langka ini bisa menyedot 100.000 turis asing dan 5 juta turis domestik yang akan datang baik melalui penerbangan umum maupun kapal pesiar. Dan jika dikalkulasi rata-rata satu turis asing membelanjakan 1.000 dollar AS, maka potensi devisa bisa mencapai 100 juta dollar AS atau Rp 1,4 triliun. Sebuah angka pemasukan yang cukup fantastis untuk satu perhelatan wisata di tanah air. Maka, seiring berubahnya zaman dan peradaban, berbagai mitologi gerhana matahari yang dulu ditakuti dan menjadi pertanda bala, kini di abad ke-21, bermetamorfosa menjadi aneka paket wisata penarik devisa dan laba.     


1 komentar:

  1. Tulisannya mantap kang. Latar belakang, Sejarah, telaah, data, essay, opini terangkum kumplit ! Juaraa dah. Hatceeeeppp.

    BalasHapus